Berita Utama

Kamis, 23 Januari 2025
Kamis, Januari 23, 2025
spot_img

Fenomena Kelas Menengah Makin Sulit Terlihat dari Data QRIS

Nasional, Topinfo: Fenomena kelas menengah Indonesia makin sulit dengan menurunnya daya beli yang menurun semakin terlihat jelas.

Salah satu indikatornya adalah penurunan transaksi melalui QRIS di sejumlah bank. Kondisi ini mencerminkan pergeseran kelas menengah ke kategori menengah rentan dan rentan miskin.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kelas menengah pada 2019 mencapai 57,33 juta orang (21,45% dari total penduduk).

Namun, pada 2024, angka ini turun menjadi 47,85 juta orang (17,13% dari total penduduk). Artinya, ada sekitar 9,48 juta orang yang turun kelas.

Sebaliknya, kelompok masyarakat menengah rentan justru meningkat dari 128,85 juta (48,20% dari total penduduk) pada 2019 menjadi 137,50 juta orang (49,22%) pada 2024.

Kelompok rentan miskin juga mengalami kenaikan signifikan, dari 54,97 juta orang (20,56%) menjadi 67,69 juta orang (24,23%) pada periode yang sama.

Sehubungan dengan hal itu, Bank Jatim (BJTM) mengungkapkan bahwa penurunan kelas menengah di Indonesia terlihat dari merosotnya transaksi QRIS pada periode Juni hingga Agustus 2024. Informasi ini dikutip dari CNBC pada Kamis (12/12/2024).

Direktur Utama Bank Jatim, Busrul Iman, mencatat penurunan transaksi QRIS yang signifikan selama Juni hingga Agustus 2024.

Pada Juni, nominal transaksi di QRIS Merchant mencapai Rp176,30 miliar. Angka ini turun menjadi Rp127,91 miliar pada Juli, dan hanya naik tipis menjadi Rp130,51 miliar di Agustus.

Namun, ungkap Busrul, jika dibandingkan dengan Januari yang hanya Rp76,11 miliar, secara keseluruhan masih ada pertumbuhan dalam delapan bulan terakhir.

Penurunan transaksi ini sejalan dengan deflasi inti yang terjadi selama empat bulan berturut-turut sejak Mei 2024.

Meski demikian, transaksi melalui layanan digital Bank Jatim, seperti J Connect Mobile dan kartu debit, masih menunjukkan pertumbuhan positif.

Bank Lain Ikut Merasakan Dampak Fenomena Kelas Menengah Makin Sulit

Bank Oke Indonesia (OK Bank) juga merasakan dampak melemahnya daya beli masyarakat. Direktur Kepatuhan OK Bank, Efdinal Alamsyah, menyebut tabungan yang terhimpun turun hingga 12% secara tahunan (year-on-year) per September 2024.

Menurutnya, nasabah lebih memprioritaskan pengeluaran untuk kebutuhan dasar atau barang esensial.

Ini terlihat dari perubahan pola transaksi, seperti penurunan pada kategori hiburan dan restoran, serta peningkatan pada bahan makanan dan kebutuhan rumah tangga.

Di sisi lain, Direktur Utama Bank BJB, Yuddy Renaldi, mencatat meskipun frekuensi transaksi masih meningkat, nilai transaksi justru menurun. Hal ini mencerminkan penurunan daya beli masyarakat akibat inflasi.

“Dengan jumlah uang yang sama, nasabah kini hanya bisa membeli 8-9 barang dari sebelumnya 10 barang,” ungkap Yuddy.

Dampak pada Kredit dan Konsumsi

Bank Central Asia (BCA) turut mencatat penurunan pada sektor kredit retail. Meski demikian, Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja, mengungkapkan bahwa kredit konsumsi, seperti KPR dan KKB, masih bertumbuh berkat suku bunga rendah.

“KPR dan KKB terus tumbuh karena bunga yang murah,” ujar Jahja.

Penurunan daya beli kelas menengah memberikan efek domino pada berbagai sektor, mulai dari transaksi perbankan hingga pola konsumsi masyarakat.

Data menunjukkan bahwa tekanan ekonomi, inflasi, dan deflasi inti menjadi faktor utama yang menyebabkan perubahan signifikan ini.

Untuk menjaga stabilitas ekonomi, sejumlah pakar ekonomi menilai, diperlukan strategi yang lebih terfokus guna mendorong daya beli masyarakat dan memperkuat kelas menengah.

Dapatkan update berita terbaaru setiap hari dari Topinfo.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Topinfo News Update", caranya klik link https://t.me/topinfoid_update, kemudian klik join.

Bagikan artikel

RELATED ARTICLES
- Advertisment -spot_img
- Advertisment -spot_img
- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

- Advertisment -
Google search engine
- Advertisment -
Google search engine