INTERNASIONAL, Topinfo.id: Republik Sosialis Demokratik Sri Lanka, mengalami babak baru krisis ekonomi. Berdasarkan data terbaru, menunjukan kondisi ekonominya minus 7,8%.
Departemen Statistik Sri Lanka mengatakan, penurunan di tahun 2022 merupakan kondisi terdalam krisis ekonomi, sejak negara itu merdeka 75 tahun lalu, kamis, (16/03/2023).
Kemudian di tahun 2021, ekonomi tumbuh 3,5% sementara di 2020 mengalami pertumbuhan minus 4,6%. Pihaknya menilai, kondisi ini terjadi akibat pandemi Covid-19.
“Ini diakibatkan efek mendalam krisis ekonomi. Kekurangan daya energi yang sering terjadi, kelangkaan bahan bakar, bahan baku, dan mata uang asing,” ungkap lembaga tersebut, pada rilis yang disampaikannya.
Massa Menyerbu Rumah Presiden
Suatu ketika, saat massa menyerbu rumah presiden Gotabaya Rajapaksa, massa memaksanya untuk melarikan diri dan mengundurkan diri sebagai presiden negara tersebut.
Sejak saat itu, sebuah pemerintahan baru bekerja untuk memperbaiki keuangan publik Sri Lanka yang terpukul. Termasuk mengamankan bailout Dana Moneter Internasional (IMF) yang sangat dibutuhkan.
Presiden yang saat ini menjabat, Ranil Wickremesinghe, telah menaikkan pajak dan mengakhiri subsidi bahan bakar serta listrik. Ini untuk meningkatkan pendapatan pemerintah setelah pendahulunya gagal membayar utang luar negeri Sri Lanka senilai US$ 46 miliar (Rp 708 miliar) tahun lalu.
Reformasi tersebut merupakan prasyarat paket penyelamatan senilai US$ 2,9 miliar (Rp 44 triliun) dari IMF, yang diperkirakan akan diselesaikan oleh Sri Lanka minggu depan. Tetapi kenaikan pajak dan harga sama sekali tidak populer, memicu protes dan penghentian industri di seluruh negeri.
Kemarin, sekitar 40 serikat pekerja memperingatkan bahwa mereka merencanakan pemogokan umum minggu depan. Hal ini terjadi jika tuntutan untuk konsesi pada program penghematan tidak dipenuhi.
Wickremesinghe mengatakan Sri Lanka dapat berharap untuk tetap bangkrut hingga setidaknya 2026. Dirinya juga menegaskan bahwa, pemerintahnya tidak memiliki pilihan selain menerapkan reformasi yang diminta oleh IMF.
Selain Krisis Ekonomi, Warga Juga Mengalami Kelaparan
Selain itu, diketahui rumah tangga Sri Lanka mengurangi asupan makanan anak-anak mereka. Jumlah ini mencapai 27% dari lebih dari 2.300 rumah tangga.
Sembilan dari 10 rumah tangga mengatakan mereka tidak dapat menjamin makanan bergizi untuk anak-anak mereka. Muditha Dharmapriya, seorang ahli gizi di Kolombo, mengatakan dirinya sependapat dengan temuan survei Save the Children.
“Saya tidak memiliki statistiknya, tetapi memang benar begitu banyak orang, mungkin 50% dari rumah tangga seperti yang dikatakan survei, tidak memiliki nutrisi yang cukup,” ungkap Muditha.
“Sesuai Piramida Panduan Makanan. Seseorang anak perlu makan dua-tiga porsi daging, ikan, dan unggas per hari. Tetapi banyak rumah tangga tidak mampu membelinya,” tambahnya.
Bukan hanya protein yang tidak didapatkan anak-anak karena meroketnya biaya hidup. Diketahui seseorang membutuhkan enam hingga 11 porsi karbohidrat, di mana tubuh mendapatkan 1.500-2.000 kkal sehari. Sejak krisis ekonomi, asupan itu telah dikurangi hingga hampir 900 kkal.
“Masyarakat tidak bisa lagi makan nasi seperti dulu. Alih-alih makan makanan bergizi, yang terjadi sekarang adalah orang makan sesuatu hanya untuk berhenti merasa lapar. Mereka mungkin makan nasi dengan porsi yang dikurangi dan tidak ada MFP sama sekali,” katanya.