Ibnu Katsir (Ketua Umum HMI Cabang Purwokerto 2021-2022)
Opini, Topinfo: Kabar yang sedang hangat dibicarakan saat ini adalah kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
BBM merupakan salah satu sumber energi penting. Digunakan oleh masyarakat dunia.
Namun, keberadaan BBM semakin lama semakin menipis. Bahkan diperkirakan, pada tahun 2025 nanti ketersediaan minyak bumi akan habis.
Menipisnya jumlah BBM mengharuskan Pemerintah menaikkan harga. Meskipun pada kenyataannya hal tersebut memberatkan masyarakat.
Menurut catatan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, besaran subsidi kesehatan tahun lalu hanya Rp43,8 triliun. Kemudian infrastruktur Rp125,6 triliun, bantuan sosial Rp70,9 triliun. Sementara untuk subsidi BBM menyedot dana paling besar yaitu Rp165,2 triliun.
Oleh karena itu, latar belakang pemerintah menaikkan harga BBM adalah pengeluaran negara untuk subsidi BBM itu sendiri sudah terlalu besar. Sehingga diperlukan adanya pemangkasan agar dapat diaplikasikan kepada sektor lainnya. Yang lebih nyata. Seperti sektor pendidikan atau kesehatan.
Kebijakan tersebut menyebabkan lunturnya kepercayaan masyarakat. Yaitu tentang Pemerintah yang seharusnya menyejahterakan rakyat. Namun, kenyataannya membuat rakyat kebingungan atas keputusan yang terkesan mendadak ini.
Kenaikan harga terjadi pada jenis bahan bakar minyak non subsidi. Yaitu Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex. Sementara untuk BBM jenis Pertamax dan Pertalite tidak mengalami kenaikan harga.
Hal tersebut menyebabkan melonjaknya permintaan akan Pertalite dan Solar dengan harga yang relatif murah.
Namun, karena terjadi selisih harga yang cukup lebar. Antara BBM subsidi dan non subsidi. Realisasi konsumsi BBM bersubsidi oleh masyarakat melebihi kuota yang ditetapkan.
Dari kuota 23,05 juta kiloliter, konsumsi Pertalite sudah mencapai 80% pada Mei 2022. Sementara konsumsi solar subsidi mencapai 93% dari total kuota 15,10 juta kiloliter.
Karena itu, penyaluran Bahan Bakar Minyak subsidi harus diatur. Baik dari penetapan kuota maupun segmentasi penerima. Saat ini, segmen penerima Solar subsidi sudah diatur. Sehingga penyalurannya lebih tepat sasaran.
Sedangkan segmentasi pengguna Pertalite masih terlalu luas. Studi Bank Dunia menunjukkan sekitar 72% subsidi BBM di Indonesia tidak tepat sasaran. Data itu kemudian diperkuat oleh Survei Sosial Ekonomi Nasional pada 2020 yang menemukan 80% konsumsi Pertalite lebih banyak dinikmati masyarakat mampu.
Catatan Pemerintah pula, penyaluran Pertalite per Februari 2022 sudah melebihi kuota. Yakni sebesar 4,258 juta kiloliter. Untuk Solar bersubsidi pemakaiannya juga mengalami kenaikan. Per April 2022 sudah melebihi 12% dari kuota yang sudah ditetapkan.